Kuharap Angin Membawa Angin yang Lain

Ariekusuma
12 min readJan 25, 2021

--

Photo by Warren Wong on Unsplash

Sekarang jika ada pesan dari grup alumni hanya ada dua kemungkinan hal yang datang, kemungkinan pertama broadcast hoax yang kedua undangan pernikahan. Hampir setiap bulan ada saja undangan yang masuk, kadang terkesan ribet karena harus bawa pasangan, bajunya harus warna ini, sepatunya warna itu. Aku sudah cukup muak dengan hidupku dan sekarang harus ditambah dengan acara rutin melihat teman — temanku menghilang secara perlahan dimakan istrinya. Hanya tinggal beberapa orang yang masih rutin ikut hiking bareng, tadinya ada puluhan dan sekarang yang bisa aku ajak sudah jauh berkurang. Aku bukan seorang pendaki profesional, aku hanya suka suasana pegunungan yang sejuk dan tenang, bercanda sepanjang perjalanan, berbagi makanan, begitulah awal kami akrab sampai sekarang.

Aku pulang kerja seperti biasa, tipikal orang kantoran biasa, aku hanya ingin langsung masuk mobil dan langsung pulang.

“CUK!!”

Pras memanggilku ketika aku sedang berjalan di parkiran, dia adalah sahabatku sejak kuliah, banyak gunung sudah kami daki bersama, kantor tempat dia bekerja sekarang satu tower dengan kantorku.

“Apa? Kalo mau ngajak mabok, gue nolak.”

“Gue diajak ke gunung sapuangin besok sabtu, ada Dinda loh, ikut yok!!” ucap Pras padaku.

“Males lah, ngga mau cape. gue ada kerjaan minggu depan.” balasku lalu masuk ke mobilku mengabaikan Pras.

Ucapan Pras terngiang dikepalaku sampai aku dirumah, aku kembali teringat Dinda. Dinda adalah perempuan yang aku kenal sejak awal kuliah, dia beda jurusan denganku, kami bisa kenal karena sempat mengurus acara kampus bareng. Dia menjadi perempuan yang lumayan populer dijurusanya ditambah senyumnya yang manis, masa depanya sudah bisa tertebak. Banyak orang yang mendekati dia sejak dia maba, jika dibandingkan mereka, levelku jauh dibawah. Aku sebenarnya ikut masuk dalam perlombaan untuk mendapatkanya, tapi sejak aku tau Dinda dekat dengan seniorku Brian, aku hanya bisa melihanya dari jauh sejak saat itu, aku berhenti berjuang karena aku menyadari posisiku yang terlampau jauh dibawahnya.

Dering telfon memecah lamunanku akan Dinda. Aku mendengar ada yang menelfonku ketika kepalaku penuh dengan ingatan tentangnya, aku bangkit dari kasur untuk menggapai telfonku, aku melihat Pras menelfonku.

“Cuk, ikut nonton ngga? Chelsea vs liverpool. Daripada mikirin Dinda mending ayo ikut!”

“Goblok, yaudah kesini, jemput gue.” balasku.

“Goblok, gue udah dibawah dari tadi.”

Aku sebenarnya tidak begitu tertarik untuk menonton pertandingannya, tapi benar kata Pras kalau lebih baik aku ikut denganya. Klakson mobil Pras terdengar, aku keluar rumah dan langsung masuk ke mobil Pras. Kami berangkat ke bar biasa kami nonton bola.

Aku tidak bisa menikmati pertandinganya, disamping tidak ada tim yang aku suka, dikepalaku juga masih terngiang akan Dinda. Bar itu penuh dengan teman kantor Pras, aku tidak bisa banyak melihat muka yang aku kenal, sampai ada seseorang memanggilku.

“BIMO?”

Sapanya memanggil namaku, suaranya yang sangat familiar membuatku langsung memberikan pandanganku pada sumber suara itu.

“Iya bimo kan, sejak kapan kamu nonton chelsea?” tambahnya.

“DINDA?”

“Iya, kamu apa kabar?”

Aku sekarang melihat Dinda didepanku, perempuan yang sedang kupikirkan tiba — tiba menyapaku, menyapaku begitu saja, seperti angin yang datang tanpa ada maksud yang jelas. Senyumnya masih sama manisnya sejak terakhir aku melihatnya di acara alumni, mungkin sudah 1 tahun lalu.

“Sehat, aku sehat, si Pras ngajak aku kesini, kayaknya bosnya Pras fans liverpoll. kamu inget Pras?”

“Inget lah, tadi siang aku juga ketemu di kantornya.”

Semuanya sudah mulai jelas kalau yang mengajak Pras ke gunung sapuangin itu tidak lain adalah Dinda sendiri. Mungkin Dinda mencari orang yang bisa dia percaya karena dia tau kalau Pras sering kegunung itu dan benar saja.

“Oh iya, besok sabtu aku ada trip ke gunung sapuangin, tadi aku minta Pras buat ngeguide. Tadi kata dia mau ngajak kamu dulu, kamu udah tau belum?”

“Ooh, tadi sih dia udah ngomong. Tapi kayaknya aku ngga bisa deh, aku minggu depan ada kerjaan soalnya, sorry ya.” jawabku.

Pras lalu datang menghampiriku dan Dinda.

“Ehh, Dinda.” sapanya dan dibalasnya “hey Pras!”

“Eh Pras, kata bimo dia ada kerjaan minggu depan, gimana dong?”

“Wahh, kalo engga sama Bimo aku juga engga yakin sih, aku cariin guide lain aja yah.” ucap Pras menolak tawaran Dinda.

Dinda terlihat tidak puas dengan keputusan Pras, Dinda lalu beranjak pergi menghampiri laki — laki di kejauhan yang mungkin pacarnya. Aku saling tatap dengan Pras ketika Dinda berjalan menjauh, seakan ada yang ingin dia katakan.

“Dinda sama Brian yang ngajak gue, gue juga males ngeguide amatir apalagi naik sapuangin, tapi gue ngga bisa nolak atasan dong, makanya gue alesan harus ngajak elo.” ucap Pras padaku.

Dugaanku benar kalau Dinda akan naik gunung bareng pacarnya itu, dan ditambah dia adalah bosnya Pras, keputusanku untuk tidak ikut adalah keputusan terbaik yang bisa aku ambil.

Setelah pertandingan selesai, aku dan Pras yang juga sudah tidak tahan dengan fans chelsea disana memutuskan untuk pulang. Pras mengantarkanku sampai depan pagar rumahku, aku lekas turun dan berjalan masuk.

“Cuk, cobalah nyari cewe lain lah kalo emang ngga berani ngomong jujur ke Dinda.”

Ucap Pras dari dalam mobil ketika aku berjalan masuk, aku tidak tau harus mengelak apalagi, Pras tau bagaimana perasaanku pada Dinda. Aku berhenti melangkah sejenak dan hanya terdiam membelakangi Pras, aku lalu lanjut berjalan dan mobil Pras pun terdengar mulai berjalan. Badanku terlentang di kasur memikirkan semua perempuan yang pernah aku dekati sejauh ini, memang tidak ada yang bertahan cukup lama, tapi aku merasa kalau memang tidak merasa cocok dengan mereka, bukan karena Dinda. Aku hanya menganggap Dinda sebagai masa lalu, sama seperti perempuan yang lain.

Tapi tiba — tiba sebuah pertanyaan melintas dikepalaku, aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang membuatku tidak merasa cocok dengan semua perempuan yang aku dekati? Bertahun — tahun terlewati tanpa ada satupun yang aku rasa cocok? Apa kekurangan mereka? Apa yang salah dengan meraka? Apa karena aku tidak bisa lepas dari Dinda?

Aku terbangun dengan masih menggunakan baju tadi malam, aku tidak ingat kalau tadi malam aku mabok. Sial, sepanjang malam aku memikirkan perempuan yang bahkan tidak tau bagaimana perasaanku padanya hingga aku tertidur. Beberapa saat aku hanya duduk terdiam di pinggir kasur merenungi hidupku sendiri yang tidak bisa melepaskan seorang perempuan dari pikiranku sendiri.

Berhari — hari aku kehilangan fokus, kehilangan semangat, aku merasa harus melakukan sesuatu, aku merasa harus berkata jujur pada Dinda. Tapi semakin aku berfikir untuk berbicara jujur, semakin kuat asumsiku kalau aku tidak mungkin mendapatkanya, dia sekarang sudah bahagia dengan orang lain, apa artinya jika kulukan semuanya sekarang atau nanti, atau kapanpun.

Aku berakhir pada keputusan untuk komitmen pada perempuan lain, aku akui selama ini aku tidak bisa melepaskan seorang Dinda dari kepalaku. Tekatku sudah bulat, aku ingin melanjutkan hidupku dengan lebih tenang, aku ingin berangkat kondangan dengan pasananku sendiri.

Aku berjalan menuju kantor tempat Pras bekerja, aku akan bilang didepannya langsung kalau aku akan melupakan Dinda.

“BIM!… CUK!”

Suara Pras berteriak memanggilku dari arah belakang.

“Weh cuk kebetulan, gue mau ngomong” balasku pada Pras.

“Dinda ilang cuk!” ucapnya sambil berjalan cepat kearahku

“Hah, apanya yang ilang?”

“Rombonganya lapor kalo Dinda engga keliatan lagi waktu mereka turun, lu ngga liat grup?”

“DINDA ILANG??”

Semua isi kepalaku menghilang dan badanku terasa dingin setelah Pras memberiku kabar kalau Dinda hilang di gunung. Pras melanjutkan pembahasan terkait kronologis bagaimana Dinda bisa hilang. Dia menjelaskan beberapa hal yang masuk akal terjadi pada Dinda, kami sepakat untuk berangkat mencari Dinda ke gunung sapuangin. Pras sudah mengurus izin sebelumnya, dia langsung meninggalkan kantor untuk mempersiapkan alat dan mengumpulkan orang. Aku masih harus mengikuti rapat dan mengurus banyak izin, aku harus mengurus dan mengundur perjalananku minggu depan.

Aku langsung bergegas menyusul Pras ke basecamp tempat kami biasa berkumpul sebelum mendaki. Aku melihat beberapa orang sudah berkumpul dan sedang mempersiapkan semuanya. Aku menemui Pras dan yang lain untuk ikut membahas rencana pencarian. Kami bersepuluh telah memutuskan untuk memecahnya menjadi dua tim. Aku sudah mengenal semua dari rombongan yang akan berangkat, beberapa dari mereka sudah sangat berpengalaman dalam hal SAR, masing — masing dari kami membawa semua peralatan yang dibutuhkan untuk memastikan tidak ada masalah ketika dalam proses pencarian nanti. Kami berangkat malam itu juga, aku dan rombongan berangkat menggunakan dua mobil, Pras bergabung dengan rombonganku.

Selama perjalanan aku terus memikirkan Dinda, perasaan ini kembali menyeruak muncul disekujur tubuh dan pikiranku, aku merasakan sebuah keharusan untuk ada di sana membantu Dinda apapun kondisinya. Ini bukan kali pertama aku harus meninggalkan duniaku begitu saja untuk memperdulikan Dinda. Terkesan bodoh untuk dipikirkan, aku yang melakukan semua ini hanya untuk Dinda semata. Aku pernah harus bolos kuliah untuk membantu Dinda mengurus motornya di kantor polisi, walau aku tau Dinda sudah punya pacar, tapi entah kenapa aku tidak merasa diniaku tidaklah lebih penting. Aku juga teringat ketika aku harus ikut demo karena aku tidak bisa tenang memikirkan Dinda yang ikut demo itu juga, aku yang harus menarik dia keluar dari kerusuhan yang mulai pecah. Aku merasa harus selalu ada disana, disamping Dinda untuk memastikan semuanya baik — baik saja. Aku merasa bodoh ketika mengingatnya, melakukan semua hal untuk orang yang bahkan tidak memperdulikanku, tapi perasaan bodoh itu seakan hilang ketika aku merasa dia membutuhkanku. Jika kali ini aku bisa menemuinya lagi, akan jadi waktu yang tepat untuku berbicara jujur pada Dinda tentang bagaimana perasaanku selama ini padanya.

Kembali aku terlelap memikirkan seseorang yang mungkin tidak pernah menilaiku penting, aku bangun ketika sudah hampir sampai basecamp pendakian. Semua telah terkoordinir, kami langsung mendatangi posko tim SAR yang berada disana untuk mengkoordinasikan rencana dan membicarakan medan yang akan kami hadapi. Kami disarankan untuk selalu membawa peluit sebagai penanda jika kami menemukan hal yang dirasa penting, karena kami hanya terhitung sebagai relawan yang membanatu pencarian, kami tidak punya wewenang untuk memutuskan apa yang akan kami lakukan, kami hanya diminta untuk mematuhi arahan yang diberikan.

Perasaan emosi mulai menguasai dadaku ketika kami memulai perjalanan naik. Aku dan Pras saling tatap, aku tau dia tidak suka dengan hutan ini, dia juga tau aku tidak suka dengan hutan ini. Kami sempat menolak untuk membantu pencarian pendaki digunung ini beberapa waktu lalu. Mungkin dia mau melakukan ini karena dia peduli dengan pekerjaanya, dia terjebak dengan permintaan atasanya dan aku disini yang hanya memperdulikan seorang perempuan. Aku tidak tau apakah aku masih bisa menyelamatkan pekerjaanku yang aku tinggal karena aku mungkin akan berada disini selama beberapa hari.

“Lu harus paham, gue disini bukan karena atasan, gue ngga peduli sama kerjaan gue.” ucap Pras padaku.

“Maksud lu apa?” balasku.

“Gue disini cuma buat mastiin lu ngga gegabah diatas nyariin gebetan, gue cuma peduli sama sahabat.” Ucap Pras sambil menepuk pundakku.

Kami melanjutkan perjalanan selama beberapa jam, menelusuri Area yang sudah diarahkan. Kami diberi informasi tentang jalur pendakian yang diambil rombongan Dinda kemarin, memang jalurnya tergolong cepat tapi medan yang harus dilalui lumayan berat dan terjal. Sepanjang perjalanan aku memikirkan kemungkinan yang terjadi padanya. Aku tau ada beberapa jurang yang terdapat di sepanjang jalur pendakian ini, aku memikirkan kemungkinan kalau Dinda jatuh terperosok di salah satu jurang itu. Terlintas dikepalaku untuk mengajak timku menyapu kawasan jurang itu tapi aku tau mereka tidak akan setuju jika aku mengusulkan hal itu karena menelusuri jurang sudah diluar area yang diberikan pada kami.

Hari sudah mulai gelap, ketua timku mengajak rombongan untuk turun sampai pos yang berada dibawah kami untuk mendirikan tenda. Aku berhasil menunutun mereka sampai sejauh ini, jurang yang aku maksud sudah berada tidak jauh didepan, aku tidak mungkin membiarkan mereka untuk turun karena aku punya rencana untuk pergi menyusur kawasan jurang didepan itu, akan terlalu jauh dan beresiko jika ditempuh dari pos dibawah, aku harus bisa membuat mereka setuju untuk bermalam disini.

“Diatas udah jalur pendakian, kalo kita bikin tenda disini kita engga harus jalan jauh besok pagi. Lagian dibawah juga pasti rame banget, lebih tenang disini.” Ucapku meyakinkan mereka.

Mereka akhirnya sepakat dengan argumenku untuk bermalam disini, aku juga menambahkan jika kami harus turun, besar kemungkinan kami bakal kehabisan logistik karena harus berbagi dengan para relawan yang lain.

Dengan kondisi mereka yang kelelahan, mereka akan dengan mudah untuk terlelap tidur, dengan demikian aku bisa menjalankan rencanaku. Aku akan berangkat menyusuri kawasan jurang ketika mereka tertidur, firasatku sangat kuat kalau ada sesuatu disana. Seperti biasa, kami akan tidur secara bergantian, hal ini dilakukan agar kami tetap bisa memonitor keadaan diluar dan jika ada perintah dari bawah.

Sesuai dugaanku, mereka langsung tertidur sesaat setelah makan, aku berdua dengan rekanku dapat giliran pertama untuk berjaga. Aku melihat jam dan menunjukan sekarang sudah pukul sebelas malam, waktu yang pas untuku menjalankan rencanaku. Aku izin pergi untuk buang air kepada teman jagaku, aku hanya membawa tas kecil berisi air, HT dan senjata tajam dengan headlamp menyala dikepalaku.

Aku mulai berjalan menembus hutan, rasa takutku bergejolak ketika mulai ada suara — suara hutan yang terdengar. Aku berjalan tepat dibawah jalur pendakian, dari kejauhan aku bisa melihat api unggun dengan beberapa tenda disekitarnya yang merupakan tim relawan lain, api unggun itu bisa aku jadikan patokan untuk tidak berjalan terlalu jauh memasuki hutan ini. Aku berjalan semakin dalam menyusuri lereng jurang sambil memperhatikan sekitarku, aku memperhatikan jika ada ranting yang patah atau ada jejak ditanah.

Tiba — tiba terdengar suara peluit tipis dari kejauhan, rasa takut mengajakku untuk putar balik menuju tenda karena aku sudah berjalan cukup dalam menyusuri hutan ini. Aku memutuskan untuk berputar balik menuju tendaku, tapi suara peluit itu kembali berbunyi ketika aku akan beranjak pergi.

“SIAPA!” sahutku dengan nada takut.

“Tolong, saya pendaki.” suara terdengar dari kejauhan.

Rasa takut semakin menguasai tubuh dan pikiranku, kedua tanganku bergetar hebat sambil menggenggam pisau di tangan kanan dan HT yang sengaja aku matikan di tangan kiri.

“Terus tiup peluit!” ucapku dengan nada sedikit teriak.

Suara peluit kembali terdengar tipis, aku memutuskan untuk menyalakan HT untuk memberi pesan kepada timku, seketika suara Pras muncul dari HT. Aku terus berjalan dengan langkah pelan mengikuti arah suara itu.

“HALLO!!! Bim lu dimana!!”

“Tenang!!, aku ada dilereng jurang, aku denger suara minta tolong, bangunin semuanya terus kesini, ikutin jejakku” ucapku lewat HT.

Suara Pras terus terdengar dari HT ditambah juga suara minta tolong yang semakin jelas terdengar sepanjang aku berjalan, aku sudah tidak bisa melihat ada api unggun lagi yang menandakan aku sudah berada cukup dalam di hutan ini. Langkahku terhenti setelah aku melihat ada rongga diantara semak belukar dari atas menuju ke bawah.

“DINDA!”

Aku memberanikan diri untuk memanggil namanya ditengah rasa takut yang menguasaiku.

“To…tolong.”

Terdengar suara seseorang dengan nada lemah tetapi sangat jelas dari bawah semak yang berongga itu. Sesaat rasa takut yang menguasai pikiranku menghilang dan aku segera bergegas berjalan turun. Headlamp-ku menyoroti seorang terbungus sleeping bag menggigil kedinginan bersandar pada tanah miring disamping pohon besar. Aku berlari kearah seseorang itu, dia melihat kearahku dan terus meminta tolong dengan nada lemah bercampur tangis, orang itu adalah Dinda. Aku melihat Dinda dengan bibir yang mulai membiru kedingingan.

“Din tenang, ini Bimo. tenang, kamu udah aman.” ucapku menenangkanya.

“Bimo, kamu beneran Bimo?” ucapnya dan tangan yang menggapai mukaku.

“Iya aku Bimo, kamu tenang, bentar lagi bantuan dateng.” ucapku padanya.

Aku berusaha memberikan arahan pada timku lewat HT, sambil aku menenangkan tangis Dinda yang sudah lemas tidak berdaya. Dinda terus mengucapakan kalau dia merasakan kakinya terasa sangat sakit, aku merasakan tanganya sangat dingin.

Aku terus berusaha memberikan arahan tentang posisiku pada tim, Dinda terus menggenggam tanganku sambil terus menangis. Aku menyadari kalau ada cincin yang melingkar dijarinya. Seketika fokusku pecah, aku tidak menyadari sebelumnya kalau dia pakai cincin ini, aku tidak melihat dia memakai cincin sewaktu di bar.

Aku memperhatikan cincin tersebut sampai aku sadar kalau mungkin ini adalah pemberian dari Brian. Aku melepaskan genggamanku ketika aku mendengar suara yang memanggil namaku dari kejauah. Aku berdiri dan berteriak untuk memberikan posisi yang jelas, aku melihat sorot lampu dari sisi atas.

“Itu bantuan dateng Din, mereka udah dateng.” Ucapku menenangkan dia.

“Aku pengin pulang Bim.” Balasnya.

“Kamu bakal pulang Din, aku janji. Kamu bakal pulang ketemu Brian lagi, aku janji.” Ucapku menggenggam tanganya.

Rombonganku berlari menghampiriku, terdegar suara Pras yang memanggil namaku. Mereka langsung menghampiri Dinda untuk memastikan kondisinya. Pras menghampiriku dengan muka penuh emosi, dia lantas meluapkan semua emosi didepanku dengan ungkapan kekececwaan karena kecerobohanku, aku sadar apa yang aku lakukan tidak benar. Aku hanya ada disana mendengarkan amarah Pras tapi kepalaku terus terpikirkan cincin yang ada di jari Dinda.

“Dinda udah dilamar Pras.” ucapku memotong amarah Pras.

Tangisku pecah ketika mengucapkan hal tersebut pada Pras, aku tidak tau kenapa aku mengucapkan hal itu padanya dan kenapa aku menangis. Pras terdiam dan memberikan ekspresi bingung menghadapku.

“Lu kesurupan cuk? Sadar cuk!!” ucapnya sambil menggoyangkan pundaku.

“Lu liat, Dinda pake cincin Pras, kemaren di bar dia engga pake cincin itu kan.” balasku padanya.

Aku merasakan patah hati yang sangat dalam dan menyakitkan, aku menyadari kalau tidak lama lagi aku akan mendapatkan undangan, aku akan mendapatkan undangan untuk menghadiri acara pernikahan seorang perempuan yang sudah aku kejar bertahun — tahun.

Seketika tempat itu ramai, banyak dari relawan mulai berdatangan, aku melihat jam sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Dengan hati penuh rasa sakit aku mulai menyingkir dari kerumunan di sekitar Dinda dan mulai berjalan menjauh meninggalkan mereka.

“Weh cuk, lu mau kemana?” ucap Pras padaku.

“Gue balik ke tenda dulu, mau tidur.” balasku.

Aku melihat Pras dan yang lain sedang membuat tandu ketika aku mulai berjalan meninggalkan mereka. Aku tidak bisa menahan tangis sepanjang perjalanan, aku tidak pernah merasakan perasaan kehilangan yang bergitu dalam sebelumnya. Aku tidak bisa membayangkan jika aku harus datang ke acara pernikahan Dinda, aku tidak tau apakah aku sanggup datang atau tidak. Aku merasa semuanya sudah selesai, aku tidak mungkin bisa mengharapkan Dinda lagi. Aku akan berusaha untuk menghadapi kenyataan ini dengan lapang dada, aku akan melihat Dinda menikah, aku akan melihat postingan mereka bulan madu, dan juga melihat postingan mereka dengan anak mereka.

Sudah hampir pagi ketika aku sampai di tenda, aku langsung mengemasi barang — barangku memasukanya ke dalam tas lalu bergegas pergi, aku sekarang hanya ingin pulang. Sepanjang perjalanan turun aku bertemu banyak relawan yang mulai naik, aku menitipkan pesan kepada salah satu dari mereka untuk timku jika aku langsung turun.

Sampai bawah aku langsung mencari robongan lain yang akan pulang dengan arah yang sama denganku, aku menumpang pulang pada salah satu rombongan. Aku berusaha untuk berfikir positif dalam setiap langkahku, aku mulai bisa menerima keadaan berkat angin pegunungan yang terasa sangat menyegarkan masuk kedalam paru — paruku. Aku ingat kalau aku sudah berniat untuk melupakan Dinda jauh sebelum aku disini sekarang dan sebelum aku tau kalau dia sudah dilamar. Aku tau Dinda, dia tidak akan mungkin memilih seseorang tanpa pertimbangan, siapapun orang yang dia pilih pasti adalah pilihan terbaiknya. Aku yakin Dinda akan bahagia, aku yakin dia akan baik — baik saja. Sama seperti angin yang akan membawa angin yang lain bersamanya, aku yakin akan melupakan semua ini, karena semua orang pasti akan merasakan patah hati dan semua pasti akan bisa mencari jalan keluar. Aku hanya bisa menunggu kemana angin akan mengantarku.

listen to this.

--

--

Ariekusuma
Ariekusuma

Written by Ariekusuma

klik aja, ada cerita lain kok..

No responses yet